Seni Gandrung kebanggaan masyarakat Banyuwangi, memang sudah mendunia. Akan tetapi tidak banyak yang tahu bagaimana sejarah perjalanan seni Gandrung tersebut. Agaknya hal itulah yang menggugah para budayawan kenamaan Banyuwangi, seperti Hasnan Singodimayan, H Andang CY, Fatrah Abal, MK Suroso, dan H Sutejo Hadi untuk menyusun sebuah buku tentang sejarah seni Gandrung.
Kosakata “gandrung“ punya arti yang sangat luas sekali. Dapat diartikan: tergila-gila, jatuh cinta, memikat, atau menatap. Oleh karena itu sebagai bentuk suatu kesenian, gandrung atau tari gandrung, adalah “Suatu tontonan yang membuat setiap orang yang menatapnya menjadi tergila-gila dan jatuh cinta”. Kesenian gandrung mendapat pengakuan nasional sebagai milik masyarakat Using dan merupakan warisan nenek moyang dan sekaligus sebagai aset budaya bangsa.
Penampilan kesenian Gandrung diselenggarakan pada malam hari semalam suntuk sampai pagi. Dapat juga dipentaskan pada siang hari sesuai dengan kebutuhan acara tertentu, seperti pada upacara petik laut atau pada upacara lain. Fungsi kesenian Gandrung atau tari Gandrung sebagai media hiburan untuk suatu perhelatan atau untuk keperluan lain dalam suatu upacara.
Kedudukan penari Gandrung berfungsi sebagai media bagi yang punya hajat perhelatan dalam menjamu tamu-tamunya, yaitu lewat bentuk tarian sesuai dengan gendingnya. Dalam setiap penampilan, penari Gandrung harus mampu membawakan beberapa gending menurut permintaan.
Urutan penampilan gending-gending dalam pementasan semalam suntuk itu ddahului dengan tari jejer, setelah itu ditampilkan gending Podo Nonton. Kemudian dilanjutkan dengan tari dan gending lain sesuai dengan permintaan para tamu. Selanjutnya, pada akhir pementasan menjelang pagi ditutup dengan tari Seblang-Seblangan.
Gedog
Tata cara untuk menari bagi tamu-tamu diatur oleh seorang pengatur acara yang disebut “gedog”, gedog itulah yang membagikan giliran menari bersama dengan Gandrung. Kebiasaanya didasarkan pada kedudukan setiap tamu di masyarakat atau penjabat tertinggi di lingkungannya para tamu yang lain. Gedog dalam mengatur giliran menari itu dilakukan dengan jalan menari seperlunya sambil membawa talam yang berisi sampur, gerakan gedog diikuti oleh penari gandrung di belakangnya .
Berdasarkan tradisi yang berlaku, jika acara mengundang Gandrung itu dalam rangka pesta perkawinan, yang menerima sampur untuk yang pertama kalinya adalah pengantin pria sebagai penghormatan atau tuan rumah yang punya hajat. Biasanya oleh pengantin pria atau oleh tuan rumah diwakilkan pada orang lain. Tetapi jika pengantin pria bersedia menari, hanya sekadar formalitas yang dilakukan sebentar, kemudian kembali ke pelaminan yang diantar oleh gedog
Ngrepen
Yang dimaksud dengan ngrepen sama dengan “tuku tembang“ sebelum menari di atas pentas, penari gandrung duduk bersama dengan tamu yang dimaksud untuk membawakan sebuah gending yang jadi permintaannya. Setelah berakhirnya Gandrung menyampaikan gending, maka beberapa orang tamu meletakkan sejumlah uang di atas talam sebagai penghargaan. Tetapi jika uang itu ditempatkan di dalam amplop, berarti uang itu uang “uleman” untuk yang punya hajat, untuk diserahkan pada petugas yang sudah siap mencatat. Berarti tamu itu akan memberikan tip tersendiri di atas pentas pada saat menari bersama juga dinamakan paju atau maju.
Paju atau Maju
Paju atau Maju, berarti bergerak ke depan. Pengertian itu pada kesenian Gandrung, yaitu naik ke pentas untuk menari bersama dengan penari Gandrung. Kemudian dalam pengertiannya kata kerja paju di pertegas sebagai “pemaju” atau pemaju Gandrung. Pemaju Gandrung tidak hanya seorang, tetapi terdiri dari tiga atau empat orang dengan cara bergantian untuk beberapa menit menurut gending yang diminta.
Busana
Busana penari Gandrung disebut basahan, pada mulanya sangat sederhana sekali. Yaitu, jamang, sebagian atasnya mirip dengan mahkota, mekak untuk menutup bagian dada, kelat bahu, pending, celana panjen, kaos kaki, kaca mata putih, dan sampur berwarna merah.
sumber :http://dhutaekspresi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=166:membedah-sejarah-seni-gandrung-banyuwangi&catid=70:budaya&Itemid=117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar